Selama seminggu terakhir, KOMPAS merilis hasil mengejutkan atas penelitiannya di Papua. Riset yang digelar sepanjang bulan November dan dipublikasikan Desember ini menyoroti tiga hal besar.
Pertama, kegagalan proyek cetak sawah di Merauke yang diproyeksikan menjadi lumbung pangan nasional. Kedua, bergantinya makanan pokok orang Papua dari sagu menjadi nasi. Ketiga, munculnya masalah baru dan berkepanjangan mengenai stunting dan gizi buruk.
Survei lapangan yang digelar Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KOMPAS ini mencoba melihat sisi lain betapa rapuhnya program ketahanan pangan di republik ini.
Salah satunya adalah Proyek MIFEE atau dikenal dengan sebutan Merauke Integrated Food and Energy Estate merupakan program cetak sawah yang diinisiasi Kementerian Pertanian era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Program ambisius ini diproyeksikan dapat menjadikan Merauke sebagai pusat lumbung pangan beras nasional.
Proyek MEFF memilih Merauke karena memiliki anugerah dari Tuhan atas bentang alam yang landai dan didukung air mengalir dengan deras. Proyek ini sempat mandek dan kemudian dilanjutkan di masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Lumbung pangan beras dari proyek MEFF memang pada akhirnya membuat surplus beras di Papua, sayangnya membuat diversifikasi pangan lokal menghilang. Orang Papua yang semula makan sagu berubah menjadi makan nasi. Sebuah malapetaka.
Laporan berseri KOMPAS menyebut bahwa Orang Asli Papua (OAP) di Kabupaten Merauke dengan mengambel sampel dari dua kampung. Mereka mengalami kebingungan parah soal pangan. OAP pada mulanya mengambil sagu dari hutan, kini hutan menghilang karena dibabat untuk menjadi sawah.
Sawah-sawah terbentang luas berhektar-hektar semula merupakan hutan rakyat. Hilangnya hutan rakyat sekaligus menghilangkan pakan alami Orang Asli Papua (OAP).
Dahulu masyarakat asli Papua jika ingin mencari sagu tinggal masuk ke dalam hutan, dalam dua hingga tiga jam sudah mendapatkan. Termasuk jika berburu hewan-hewan liar yang menjadi sumber protein.
Kini untuk mendapatkan sagu saja butuh keluar dari desa dan berhari-hari lamanya. Orang Asli Papua akhirnya berubah dari peladang dan peternak menjadi pekerja buruh.
Uang hasil keringat menjadi buruh dengan upah murah kemudian dibelikan beras dan mie instan. Mereka tak sanggung beli telur dan daging di pasar. Keadaan saat ini jauh lebih memburuk. Jika dahulu sagu sebagai bahan protein dapat dicampur dengan daging hewan buruan di hutan.
Kini sagu tergantikan dengan beras dan mie instan, praktis menjadi kurang gizi. Kasus stunting dan kematian balita akibat kurang gizi semakin sering terdengar.
Tak hanya mengenai Papua, dalam seri laporan panjang tersebut, KOMPAS juga merilis hilangnya tradisi perladangan masyarakat Dayak akibat larangan membakar hutan secara tradisional.
Larangan dari pemerintah ini berawal dari kasus kebakaran hebat hutan Kalimantan yang ditengarai dilakukan oleh korporasi-korporasi besar. Sayangnya, akhirnya getahnya kemudian mengenai komuniitas-komunitas Suku Dayak. Mereka dilarang membakar ladang dan kesulitan untuk bertani.
Menggandeng Rainforest Journalism Fund, KOMPAS akhirnya menyimpulkan bahwa larangan-larangan membakar ladang tradisional yang menjadi akar identitas dan sumber pengolahan pakan lokal Suku Dayak ini menjadi malapetaka. Masyarakat Dayak tak bisa lagi bercocok tanam dan benih-benih biji pertanian mereka menghilang secara perlahan-lahan.
Dari dua kasus ketahanan pangan di Papua dan Kalimantan ini dapat menjadi catatan kritis bahwa sebagai negara agraris. Indonesia masih belum menempatkan diversifikasi ketahanan pangan lokal sebagai sabuk-sabuk penguatan pangan. Kita masih
Pada laporan terbaru, Bank Dunia melalui Indonesia Economic Prospect (IEP) Desember 2022 menyebutkan bahwa harga beras di Republik Indonesia paling mahal di Asia Tenggara. Bank Dunia menyebut harga beras yang menjadi bahan pokok lebih dari 70% penduduk republik ini, memiliki harga beras 28 persen lebih tinggi ketimbang negara Filiphina.
Pada data yang sama, harga beras di Indonesia bahkan dua kali lipat daripada negara Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand. Vietnam dan Thailand adalah dua negara yang menjadi langganan impor dari Indonesia. Baru-baru ini saja, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memberikan lampu hijau datangnya impor beras 500 ribu ton kepada Badan Urusan Logistik (Bulog).
Kenyataan seperti ini tak bisa menjadi hal yang bisa dinormalisasi. Keadaan bahwa beras semakin mahal di meja kita dan kenyataan bahwa diversifikasi pangan lokal di daerah semakin jauh dari panggang api menjadi alarm bahwa ketahanan pangan berada dalam titik kritis.
Semakin banyak negara impor beras, maka akan semakin banyak uang keluar. Semakin banyak pangan lokal tersingkir, maka kita akan tergantung pada satu makanan pokok yang sama dan membuat ekonomi lokal di daerah dan bahkan di pedesaan tidak bisa berputar. Uang keluar untuk mencukupi daya beli yang sejatinya bisa kita penuhi sendiri.
Desa Digdaya di Tengah Prahara
Persoalan ketahanan pangan lokal ini sejak lama menjadi diskusi para pegiat desa. Desa-desa di Indonesia dituntut dapat menjadi benteng ketahanan pangan nasional. Bukan hanya soal beras, tetapi juga terkait pangan lokal lainnya.
Desa tidak bisa lagi menunggu menjadi lapisan terakhir dalam perang, tetapi harus mempersiapkan diri sedari awal. Segala perangkat yang dimiliki desa telah diberikan oleh negara dalam memenuhi kebutuhan dirinya dalam menjaga sabuk-sabuk ketahanan pangan.
Sekjend Forum BUMDes se-Indonesia, Dr. Rudy Suryanto, S.E., M.Acc., AK. CA. dalam berbagai kesempatan diskusi menyampaikan sejak hadirnya Undang-Undang Desa Tahun 2014.
Sejatinya desa telah mendapat keistimewaan (privilege) dari negara berupa pemberian asas rekognisi dan asas subsidiaritas. Dua asas ini negara mengakui dan menyetarakan bahwa desa merupakan entitas, kesatuan adat dan kesatuan hukum yang dapat mengelola wilayahnya sendiri.
Dengan payung hukum ini, seharusnya desa dapat menjaga, mengelola dan mengolah ketahanan pangan secara mandiri. Negara akan memberikan bantuan apapun, sementara pemangku dan pengelola desa dari berbagai stakeholder merumuskan segala kebijakan terkait dengan pengelolaan ketahanan pangan lokal.
Salah satu contoh masalah yang sering diabaikan dalam ketahanan pangan lokal adalah soal pemenuhan pangan masyarakat desa. Berbicara di depan anak-anak muda peserta Akademi Kewirausahaan FISIPOL UGM, Rudy Suryanto mengkritik bagaimana orang-orang desa membeli sayur-mayur dari pedagang keliling.
Membeli telur dan daging dari penjaja yang mengambil bahan makanan dari tempat lain lalu dijual kembali. Padahal kebutuhan pangan lokal ini dapat dipenuhi oleh masyarakat desa sendiri tanpa harus bergantung kepada daerah lain.
Kelihatannya cukup sepele, tetapi dalam jangka panjang membiarkan arus perputaran uang dari desa keluar justru akan melemahkan ekonomi desa sendiri. “seharusnya desa menanam apa yang mereka makan, dan makan apa yang mereka tanam,”.
Itulah mengapa sudah seharusnya jangan pernah memaksa orang Papua makan beras. Karena makanan pokok Orang Asli Papua (OAP) adalah sagu dan bahan pangan lokal ini akan menjadi bagian dari diversifikasi pangan lokal, menjaga sabuk-sabuk ketahanan pangan agar Indonesia tidak tergantung kepada negara lain.
Pernyataan ini bukanlah pepesan kosong. Pendiri platform Bumdes.id ini menyajikan data bahwa laporan pendampingan Bumdes.id terhadap desa-desa dan badan usaha milik desa (BUMDes) selama masa pandemi covid-19 menghasilkan dua kesimpulan besar:
- Sebagian besar desa dan BUMDes mengalami tekanan yang cukup parah terkena pandemi Covid-19.
- Namun, terdapat anomali bahwa ada desa-desa dan BUMDes yang dapat bertahan dari terjangan pandemi karena kembali berfokus pada pengelolaan hasil pertanian.
Desa dan BUMDes yang dapat survive dari krisis ekonomi selama pandemi karena mengembalikan ekonomi desa kepada ekonomi lokal. Desa berfokus pada produk-produk pertanian yang dimiliki, memberdayakan pangan lokal, menanam pangan lokal dan mengonsumsi pangan lokal.
Ketika daerah-daerah lain mengalami guncangan karena defisit pasokan bahan pangan, orang-orang mengalami panic buying membeli bahan pangan dari luar. Desa-desa yang survive ini tinggal makan dari halaman desanya sendiri karena berfokus pada pemberdayaan pangan lokal.
Itulah mengapa penguatan desa, terlebih penguatan badan usaha milik desa (BUMDes) menjadi langkah penting dalam memperkokoh sabuk ketahanan pangan lokal. Dalam ekspose bersama Bumdes.id dengan Universitas Janabadra Yogyakarta pada pembuatan peta digital BUMDes melalui Sistem Informasi Geografi (SIG).
Ditemukan data bahwa BUMDes-BUMDes yang berorientasi pada produk-produk pertanian masih sedikit, terutama BUMDes-BUMDes di wilayah Indonesia Timur yang masih belum terkelola dengan baik. Peluang dan potensi ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemangku kepentingan desa dan pengurus BUMDes untuk memperkuat BUMDes sebagai pilar ketahanan pangan.
Ketahanan Pangan dari Desa
Bagaimana desa dan BUMDes dapat bekerjasama menjadi pilar penjaga ketahanan pangan lokal? Jawaban ini dapat ditemukan dalam buku Peta Jalan BUMDes Sukses dan buku kedua Revitalisasi dan Akreditasi BUMDes yang ditulis Rudy Suryanto.
Jika desa mendapat keistimewaan dari Undang-Undang Desa Tahun 2014. Maka BUMDes mendapat privilege dari Peraturan Pemerintah no 11 Tahun 2021. BUMDes adalah badan hukum yang bersifat usaha sosial untuk mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan desa. Sehingga satu hal yang perlu dipastikan adalah BUMDes dapat berjalan dengan baik untuk melaksanakan misi ini.
Memastikan BUMDes berjalan baik, maka tata kelola kelembagaan perlu dibenahi. Banyak BUMDes hanya bersifat papan nama semata dan tidak diproyeksikan untuk mengelola ekonomi desa. Hanya menjadi stempel penerima hibah atau hanya memenuhi unsur formalitas. Padahal BUMDes adalah lembaga besar yang dapat dimaksimalkan untuk mensejahterakan masyarakat desa.
Revitalisasi kelembagaan ini akan membawa BUMDes menjadi organisasi di desa yang profesional, transparan, akuntabel, mengayomi dan mampu menjadi lokomotif ekonomi desa.
Pada fase kedua, BUMDes perlu direstrukturisasi pada bagian unit usaha. Unit usaha BUMDes dapat diarahkan, dikelola dan dipetakan untuk mengelola ketahanan pangan lokal. Mengelola penggilingan padi, mengelola PAM air bersih, mengelola air minum dalam bentuk kemasan dan bahkan mengelola desa wisata. Keseluruhan ini digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat desa. Bukan untuk segelintir golongan tertentu.
Itulah mengapa sejatinya mengelola ketahanan pangan dapat dimulai dari lingkup kecil bernama desa, dengan kendaraan bernama BUMDes. Keduanya dapat saling mengisi dan mengayomi untuk menginisiasi kesejahteraan lokal. Cobalah lihat Desa Kemudo Makmur dengan BUMDesnya mampu membuat toko desa, melahirkan ratusan wirausaha baru dan membagi hasil usahanya kepada masyarakat desa.
Selain Kemudo, ada banyak desa dan BUMDes lain yang berhasil mengelola potensi pangan lokalnya. Ada Kuala Alam dengan Nanasnya, ada BUMDes Amarta dengan beras lokalnya dan sederet BUMDes-BUMDes lain sebagai penjaga gawang ketahanan pangan lokal. Jika kita serius menjadikan BUMDes sebagai sarana gerak bersama, maka sudah seharusnya tidak ada krisis pangan di desa-desa kita.