Fenomena lahirnya Undang-undang (UU) Desa Nomor 6 Tahun 2014 telah membuat orang-orang mendadak tersentak. Kehadiran UU Desa seolah-olah telah menghantarkan masyarakat desa maupun awam berbondong-bondong untuk mulai memahami apa itu desa. Sementara, beriring dengan lahirnya UU Desa, Indonesia tengah memasuki peradaban perekonomian baru, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pasar bebas ASEAN yang kini mulai diberlakukan di tanah air. Lantas, apa kaitannya UU Desa dengan MEA?
Perlu diketahui, hadirnya UU Desa telah mempengaruhi masyarakat desa untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di desanya masing-masing, terlebih setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Desa (Permendes) Nomor 4 Tahun 2015. Tentu, dalam mengembangkan bisnis BUMDes, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi agar terciptanya kesejahteraan ekonomi di desa. Apa saja tantangannya?
Pertama, bahasa politik satu desa satu miliar. Pembangunan dimulai dari dana desa yang digelontorkan ke desa, yang mana menjadi sebuah beban dan resiko tanggung jawab besar bagi aparatur pemerintah desa. Banyak pihak yang melihat peluang pekerjaan dalam dana besar ke desa, mulai dari perusahaan yang memiliki kepentingan bisnis (kontraktor, pedagang, konsultan, dan lain-lain) sampai organisasi swadaya masyarakat dengan berbagai konsentrasi seperti anti korupsi, transparansi anggaran, pendamping, dan lain-lain). Tidak kurang juga para tokoh lokal desa yang berharap mendapatkan bagian dari dana desa seperti Lembaga Kemasyarakatan Desa, PKK, BPD, Karang Taruna, Kelompok Tani, dan lain-lain). Disinilah Aparatur Desa dituntut untuk mampu profesional melayani, memilah, dan memilih kepentingan, serta efektif dalam penggunaan anggaran untuk keperluan pemberdayaan masyarakat.
Kedua, realitas perolehan dana desa dari APBN yang tidak sebesar saat disuarakan dan tidak semudah yang dibayangkan. Hal ini tentu telah mendorong elemen desa menuntut aparatur desa agar mampu bekerja secara profesional dalam berbirokrasi. Kondisi ini tidak bisa dinafikan atau dianggap tidak ada, tetapi harus dilihat dalam konteks kesadaran bersama untuk melakukan belajar cepat dari para aratur desa.
Ketiga, Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah sebuah kesepakatan dan Indonesia ada di dalamnya. Dengan adanya pasar bebas ASEAN, maka bukan hanya mobilitas barang dan jasa saja yang ditawarkan, tapi juga mobilitas manusia atau tenaga kerja. Realita saat ini, kita “tersandera” dengan konsep-konsep standarisasi atau sertifikasi yang tidak diiringi dengan fasilitas dari negara untuk menyiapkan tenaga kerja yang tersertifikasi ahli, mahir atau terampil. Beberapa institusi sertifikasi bahkan cenderung hanya melakukan “bisnis” pendataan tanpa ada perlindungan dan penguatan untuk tenaga kerja Indoensia.
Keempat, kurangnya pemahaman dan pengertian, serta kurangnya kesadaran dari aparat desa dan masyarakat desa tentang ancaman yang dihadapi atas lahirnya paket UU menuju liberalisasi Indonesia. Dimulai dari UU Nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, dilanjutkan UU Nomor 43 tahun 2008 tentang wilayah negara, dan UU Nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Kelima, pemahaman nasionalisme yang sempit dan kurang cerdik sehingga keterbukaan dan ketertutupan investasi asing menjadi perdebatan yang tidak ada habisnya. Ada saatnya kita membuka kembali konsepsi ekonomi benteng dengan diimplementasikan dalam benteng desa. Desa harus mandiri dalam ekonomi, serta berdaulat dalam politik, dan berkuasa dalam informasi. (santyo/bumdes.id)