Ada Sugeng Handoko Dibalik Gunung Api Purba Nglanggeran

Sosoknya sederhana dengan senyum tak pernah lepas dari wajah. Nada bicaranya selalu riang, mengesankan keyakinan diri dan terutama semangat juangnya yang tak pernah padam. Ciri khasnya, selalu mengenakan blangkon khas Jogja. Dialah Sugeng Handoko, sosok pemuda dibalik suksesnya Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, menjadi Desa Wisata primadona sekaligus memenangi penghargaan Desa Wisata Terbaik di ASEAN, 2017 silam.

Siapa tak mengenal obyek wisata Gunung Api Purba, kumpulan batu raksasa berusia 60 juta tahun yang bertumpukan membentuk gunung. Ukuran dan jumlahnya yang luar biasa dan bersemayam di tengah lembah nan permai membuat bebatuan ini mirip kumpulan raksasa hitam yang tertidur pulas di sana.

Meski telah berusia jutaan tahun tapi selama itu tak seorangpun warga desa ini yang memiliki ide mengenai apa yang harus diolakukan terhadap batu jenis Andesit ini. Hidup bersama kumpulan raksasa hitam setiap hari, menatap dan melewatinya ribuan kali membuat warga merasa, tidak ada yang bisa dilakukan lagi selain membiarkannya saja. Kecuali seorang pemuda bernama Sugeng Handoko.

Sejak kuliah di salahsatu perguruan tinggi di kota Yogyakarta yang berjarak 25-an kilometer dari desanya, terbersit dalam pikiran si pemuda: bebatuan itu bisa menjadi obyek wisata yang luar biasa sekaligus menjadikannya area konservasi alam. Soalnya, jarang ada bebatuan sebegitu besar dengan sejarah geologis yang unik seperti itu. Tetapi bagaimana cara mewujudkannya?

Dikumpulkannya anak-anak muda desa, diskusi digelarnya, membahas rencana membangunkan si raksasa menjadi magnit wisata. “ Awalnya ada 40-an pemuda berkumpul dan sepakat mengenai hebatnya peluang ini. Tapi lambat-laun ‘prothol’ (lepas) dan berkurang. Akhirnya tinggal empat orang saja,” kisah Sugeng kepada Bumdes.id di Kantor Sekretariat Gunung Api Purba yang sejuk.

Tapi Sugeng tak menyerah, bersama sejumlah warga dia membersihkan area demi area bebatuan. Mereka menanam pepohonan di sela batu sekaligus membersihkan semak belukar. Ini dilakukan untuk menjadikan gunung batu ini sebagai daerah tangkapan air bagi area persawahan di bawahnya.

Ini bukan pekerjaan muda karena mengharuskan mereka mendaki tebing-tebing curam dengan celah-celah yang hanya pas untuk ukuran badan. Mereka bahkan harus memasang tangga kayu untuk memanjat. Tantangan inilah yang membuat kendor sebagian anak muda.

Beberapa bulan berikutnya, setelah berhasil membuat jalan setapak bersama beberapa warga dan pemuda, Sugeng mulai memotretnya dan memasang setiap sudut Gunung Purba dalam akun Instagram.” Kami menawarkan diri menjadi tempat untuk kemah keakraban dan acara kelompok para mahasiswa yang kuliah di Jogja,” katanya.

Demam selfi yang sedang melanda dunia membuat cara ini segera membuahkan hasil. Rombongan demi rombongan datang, berkemah atau sekedar jalan-jalan. Para pelancong itu sudah pasti akan membuat berbagai gambar yang indah dan dipasang di Facebook atau Instagram mereka. Bak wabah sampar, foto-foto itu menyebar dan menyergap mata para pemirsanya. Masa gemilang Nglanggeran-pun tiba.

Sejak 2014, ratusan ribu orang mengunjungi tempat ini dalam setahun. Tahun 2015 bahkan melewati angka 400 ribu pengunjung dalam setahun. Tapi muncul masalah baru, banyaknya orang yang datang ternyata juga mengundang banyak sampah bertebaran. Akibat tidak disiplinnya para pengunjung membuang sampah, tahun berikutnya pengunjung turun drastis.

Warga bergerak, anak muda bertindak. Mereka membersihkan sampah-sampah itu dan menciptakan sistem kerja rutin untuk memastikan tidak ada lagi sampah berceceran. Kunjungan naik lagi di atas 300 ribu orang. “ Tapi kami kemudian memutuskan untuk tidak terlalu mengejar angka kunjungan karena kalau terlalu banyak orang datang, resiko kerusakan alam juga semakin besar, soalnya Gunung Api Purba kan wilayah konservasi alam,” tutur Sugeng.

Tingginya angka kunjungan ini membuat Nglanggeran menjadi salahsatu daftar obyek wisata favorit di Jogja. Efek sosialnya juga luar biasa, seratus limapuluhan pemuda terserap ke dalam pusaran wisata ini dengan rupa-rupa pekerjaan. Mulai dari ‘tour guide’, petugas administrasi, kelompok pembersih gunung hingga petugas antar jemput.

Belum lagi jumlah warung makan yang ramai dikunjungi orang, warung pulsa. Ini belum termasuk banyaknya homestay yang laris-manis diinapi para pelancong yang ingin menikmati keindahan alam desa. Nglanggeran menjadi Desa Wisata.

Keramaian Nglanggeran juga membuat para pemudanya tak lagi tertarik mengadu nasib ke negeri orang menjadi TKI. Mereka kini cukup di desa, menjadi bagian dari usaha wisata yang membuka peluang pendapatan dan pekerjaan luar biasa. Desa Wisata membuat mereka bersemangat membangun desa.

Sugeng dan para pemuda terus bergerak. Di bawah BUMDes mereka terus mengembangkan wisata termasuk membangun embung alias tampungan air untuk pengairan yang mereka sulap menjadi telaga cantik di atas bukit. Ya, kehebatan anak-anak muda Nglanggeran adalah menyulap berbagai aset desanya menjadi pesona wisata. Kini, embung menjadi salahsatu obyek wisata yang ramai dikunjungi orang. Apakah embung di desa-mu juga?

Bahkan, kelompok peternak kambing-pun menjadi obyek yang menarik di sini. Caranya, warga menciptakan kandang kambing dengan bentuk yang cantik bak perumahan kambing saja. Terbuat dari kayu jati yang dibuat halur dan simetri, kandang kambing di Nglanggeran menjadi salahsatu tempat yang dikunjungi banyak desa lain. Ternyata, beternak kambing bisa dilakukan dengan menyenangkan dan asri.

Setahun lalu, Nglanggeran meresmikan Griya Cokelat, rumah produksi yang mengolah buah kakao menjadi aneka ragam produk cokelat. Bahan bakunya berasal dari tanaman kakao milik warga Nglanggeran sendiri. Berkunjung ke tempat ini akan membuat Anda kagum karena di tengah kampung berbukit-bukit ternyata ada rumah pengolahan cokelat yang bersih, rapi dan dipunggawai sepuluh perempuan asli desa.

Bedanya Nglanggeran dengan beberapa desa lain adalah, pemuda dan warganya tidak hanya mengandalkan raksasa batu yang berdiam di desa mereka sebagai satu-satunya obyek wisata. Mereka mengembangkan beragam potensi lokal mulai cokelat dan mengolah pisang, ceriping ketela dan sebagainya menjadi komoditas yang produktif.

Warga Nglanggeran juga sepakat menjadi warga yang ramah-tamah pada semua tetamu yang datang ke desa mereka berwisata. Mereka saling dukung satu sama lain, mereka bahkan sepakat untuk mendirikan bangunan yang mendukung wisata mereka dengan tidak memasukkan unsur modernitas dalam disainnya. Semua ini demi satu visi bersama, menjadi Desa Wisata yang memincut hati siapa saja. Dan mereka berhasil.

Terbukti Nglanggeran menyabet gelar Desa Wisata Terbaik di ASEAN karena mampu mewujudkan sebuah desa wisata dengan menyertakan peri kehidupan warga sebagai sebuah konsep integratif dalam mengembangkan wisata. Sugeng Handoko menerima penghargaan ini di Singapura Februari 2017 lalu. “ Saya yakin desa-desa lainnya sangat bisa melakukan apa yang telah kami lakukan. Hanya masalah semangat saja yang mungkin belum sama,” kata Sugeng. Salam Desa.(aryadji/bumdes.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

KUBET