Pemuda Desa Ini Sedang Membangun Kampung Seni, Begini Kisahnya

Gelar sarjana dan kuatnya darah seni dalam dirinya tidak membuatnya ikut arus pergi ke kota mencari kerja. Sebaliknya, malah memutuskan tinggal di desa dan membangun membangun ‘Kampung Seni’, sebuah cita-cita yang awalnya diragukan warga desanya sendiri. Tapi kemudian terbukti, kekuatan unik seni bisa hidup dan berkembang bahkan di desa terpencil sekalipun.

Sekilas,di Desa Kebasen Kecamatan Kebasen, Banyumas, Jawa Tengah ini, tak pernah muncul sebagai desa yang identik dengan karya seni. Di kampung yang terletak di pinggiran Sungai Serayu ini juga tak tampak aktivitas seni. Tetapi itu akan berbeda ketika Anda datang ke rumah sekaligus Studio bernama Jegos. Inilah tempat tinggal Budi Haryanto, 30 tahun, si pemilik studio yang tiap hari ramai didatangi anak-anak muda dengan beragam bakat seni dalam diri mereka.

“ Awalnya, sebenarnya saya tidak berpikir tentang Kampung Seni. Tetapi beberapa tahun terakhir, banyak anak muda yang memiliki minat besar dan butuh ruang untuk berkumpul dan berkarya, kami lalu berpikir untuk menyatukannya dalam sebuah ruang besar, Kampung Seni,” ujar Budi, bapak satu anak lulusan Sosiologi, Sisipol, Universitas Jenderal Soedirman yang lebih suka disebut sebagai ‘Wong nDeso’ ini.

Beberapa tahun lalu, selepas kuliah, Budi sempat mengikuti jalur para seniornya. Budi yang aktif dalam kegiatan jurnalistik ini menjadi wartawan sebuah koran regional Jawa Tengah. Beberapa bulan kemudian Budi memilih mundur dari pekerjaan itu. “ Saya merasa tidak cocok dan selalu ingin tinggal di desa saja,” katanya. Beberapa tawaran pekerjaan yang lain juga ditampiknya dengan halus. Ini membuat kawan-kawannya terheran-heran. “ Lha wong tidak nyaman ya bagaimana lagi,” ujar Budi menanggapi sikap kawan-kawannya.

Budi akhirnya mantap mewujudkan mimpinya, pulang ke kampung, menjadi orang kampung. Budi meyakini, tinggal di kampung tidak akan menghambat kreativitasnya mencari rejeki. Budi yang memiliki bakat seni grafis lalu memulai sebuah usaha unik, membuat aneka produk ‘wood lettering’ alias seni menciptakan gambar satu warna pada sebidang papan.

Sekilas ini seni yang sederhana saja, menciptakan gambar di atas papan kayu yang telah dihaluskan lebih dahulu dengan satu warna khas: hitam. “ Bisa lukisan semacam siluet wajah atau hanya kumpulan kata-kata alias quote,” kisah Budi pada Bumdes.id.

Awalnya, Budi membuat karya itu untuk hadiah pernikahan temannya dan ulang tahun. Budi lalu membuat beberapa karya lagi, di fotonya dengan telepon genggam miliknya lalu diunggah ke media sosial. “ Saya mulai menawarkan karya itu ke media sosial pada teman-teman, jaringan keluarga dan orang-orang dekat,” katanya.

Dalam beberapa hari kemudian pesanan mulai datang dari teman-teman. Sembari konsisten mengunggah beragam karya, Budi mulai menciptakan karya untuk papan nama kafe, toko, kantor dan sebagainya. Semuanya dengan sentuhan seni yang unik. Beberapa bulan kemudian pesanan mulai berdatangan dengan beragam jenis karya. Mulai dari kado pernikahan bergambar sejoli hingga Photo booth beberapa acara.” Sentuhan unik tampaknya mulai menarik hati banyak orang,” ujar Budi.

Budi lalu memutuskan membangun studio sekaligus rumah tinggalnya. Beragam karya di pajang di dinding ruang tamu sekaligus galeri. Di belakang rumah, beberapa anak muda berpenutup wajah sibuk memotong dan menghaluskan kayu dengan mesin, mengerjakan pesanan yang membanjir. “ Pada bulan baik untuk pernikahan, banyak sekali pesanan hingga kewalahan,” katanya.

Cara memesan karya ini sederhana saja, Anda tinggal membuka akun Facebook Jegos Studio, memilih berbagai model yang ada di sana lalu memesannya. Jika tidak ada yang cocok, tinggal menyebutkan keinginan Anda. Lalu kirimkan foto terbaik Anda maka Budi dan tim-nya akan menciptakan karya yang unik bagi Anda. Transaksi bisa dilakukan secara online saja.

Awalnya, usaha Budi yang kerap disebut sebagai ‘usaha yang aneh’ oleh para tetangga. Bagaimana bisa menghasilkan uang dengan berjualan papan bergambar satu warna di desa? Sedangkan selama bertahun-tahun warga desa Kebasen mencari rejeki dengan mengandalkan tanah sawahnya. LAgipula siapa yang mau beli karya seperti itu di desa nan sepi ini.

Tapi Budi membuktikannya, berbekal kemampuan seni yang unik, pengerjaan karya yang sungguh-sungguh dan memanfaatkan media sosial serta jaringan komunikasi lewat HP, usaha Budi terbukti mendatangkan rejeki. “ Alhamdulillah usaha ini makin lancar saja, minimal bisa buat makan dan beli susu untuk anak. Juga bisa untuk membangun rumah dan seisinya,” ujar Budi sambil tertawa.

Aktivitas seni yang Budi lakukan tak hanya membuatnya dikenal sebagai seniman wood lettering saja. Rumah sekaligus studionya juga menjadi magnit baru bagi anak-anak muda berbakat seni yang selama ini tidak memiliki ruang berkarya. Setiap malam tiba, selepas kerja, rumah itu berubah menjadi tempat diskusi beragam tema seni.

Hebatnya, yang datang ke diskusi ini bukan hanya anak-anak muda desa Kebasen saja melaikan juga dari berbagai penjuru Banyumas termasuk pemuda Desa Pekuncen. Asal Anda tahu, desa Pekuncen berada di ujung barat Kabupaten Banyumas, butuh waktu 1,5 jam untuk sampai ke tempat ini. Tapi jarak tampaknya bukan masalah bagi para pemuda. “ Anak-anak muda yang datang berasal dari berbagai latar. Tidak ada batasan usia, pekerjaan utama apalagi pendidikan. Seni adalah bahasa universal milik semua orang. Kami terbuka pada semua orang,” katanya.

Tak hanya kumpul-kumpul saja. Tiga tahun lalu mereka membentuk komunitas dan menggelar even skala desa bernama Pulkamfest alias Pusat Kampung Festival. Bentuk evennya unik, mereka membuat panggung kecil dan menyiapkan sound system sederhana. Bertempat di pinggir jalan desa. Hasilnya? “ Pengunjung membeludak. Mungkin karena jarang ada hiburan di desa ini,” ujar Budi terbahak.

Padahal, even itu tidak memiliki ‘mata acara’ yang hebat, hanya sekedar menyiapkan panggung kecil dan mempersilakan siapa saja untuk menyanyi dengan sebuah gitar bolong di sana, baca puisi bahkan berpidato kalau Anda mau. Keramaian yang di luar dugaan ini melahirkan Pulkamest jilid II. Kali ini digelar di lapangan desa, tetap dengan format yang sama. Hasilnya, tambah ramai lagi dan sukses memberikan ruang ekspresi anak-anak muda jago nyanyi, baca puisi bahkan tari-tarian anak.

Tahun berikutnya digelarlah Pulkamfest Seri III dengan tempat Watu Meja, sebuah pelataran di atas bukit yang memiliki bebatuan unik berbentuk meja. Even ini digelar dalam rangka untuk membuat tempat ini ramai menjadi tempat wisata. Kali ini tak hanya panggung saja yang dipajang. Warga bertangan kreatif juga menjual aneka rupa karya seni mereka. Tercatat hampir sepuluh lapak berdiri, menjual beragam karya asli warga mulai dari patung kayu hingga lukisan.

Akhir Januari 2019 lalu Jegos Studio menggelar Pameran Komik berjudul ‘Nabok Nyilih Komik’. Pelukisnya Ogie, seniman warga Kota Banyumas. “ Dia memilih pameran di sini karena belum percaya diri dan tentu saja jauh lebih irit karena tidak ada biaya sewa gedung, alat dan sebagainya. Kopi-nya juga bantingan,” kisah Budi.

Kini para pegiat seni ini mantap membangun mimpi mereka sejak lama yakni mewujudkan sebuah ruang seni bagi para seniman yang selama ini tak memiliki ruang berkarya. Mereka mendirikan semacam perusahaan bersama yang akan memfasilitasi anak-anak muda anggotanya menciptakan karya. Perusahaan ini pula yang akan memberikan dampingan, kurasi dan menjual karya itu. Sebagian hasilnya disumbangkan untuk kelangsungan hidup perusahaan mereka.

Biaya awalnya bantingan, mereka membeli kuas, cat, media lukis dan beberapa peralatan penunjang. “ Disesuaikan dengan kebutuhan juga, karena tidak semuanya bergerak pada seni rupa lukis, ada juga yang menggunakan media kayu, kulit dan sebagainya,” kata Budi.

Karya lukisan adalah karya yang diprioritaskan. Alasannya, karena puluhan tahun lampau Banyumas pernah memiliki sebuah tempat kumpulan seniman asli Banyumas menghasilkan lukisan luar biasa, namanya: Sokaraja. Sayangnya, kisah para pelukis mumpuni itu tergerus kapitalisme dunia dan kini kehilangan ruh seninya. “ Kami bermimpi untuk mengembalikan kejayaan masa itu ke masa sekarang. Meski tidak di Sokaraja lagi, tetapi di sini, di Kebasen lalu menyebar ke berbagai desa,” kata Budi.(aryadji/bumdes.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

KUBET